1. Pendahuluan
Selama 3,5 tahun berkuasa di Indonesia, pemerintah
fasis Jepang dihadapkan pada keputusan politik yang ambivalen. Enam bulan
pertama kekuasaannya di tahun 1942 Jepang mampu membuktikan kekuatan dan
keunggulan angkatan perangnya dalam setiap medan pertempuran. Kemajuan
berperangnya luar buasa, menakjubkan, pasukannya bergerak cepat bagaikan badai
menyapu tempat-tempat pertahanan musuh. Akan tetapi keunggulan itu tidak
berlangsung lama, yaitu ketika armada Jepang dipukul mundur oleh Sekutu pada
akhir 1942. Kekalahan Jepang diberbagai medan perang pada akhirnya menyebabkan
menipisnya keparcayaan bangsa Indonesia terhadap pemerintahan Jepang. Untuk itu
Jepang harus memiliki kemampuan untuk
memulihkan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap kewibawaan pemerintah
Jepang.
Bagaimanakah politik
pemerintah Jepang dalam menjalin
kerjasama dengan bangsa Indonesia?. Bagaimanakah reaksi rakyat Indonesia terutama kalangan pemuda terhadap politik
Jepang tersebut. Tulisan ini memberikan perhatian secara khusus kepada gerakan
pemuda pada masa pendudukan Jepang di Indonesia awal 1943 hingga pertengahan
1945. Peristiwa ini menarik untuk menyimak kembali dinamika nasionalisme dari
anak bangsa. Pertama karena secara politis gerakan pemuda pada waktu itu
merupakan representasi campuran politik pemerintah Jepang yang bercorak
eksploatatif, dengan politik nasionalisme modern yang sedang tumbuh di kalangan
kaum pergerakan Indonesia. Kedua, stigma pemuda dalam dinamika sejarah kolonial
di Indonesia, selama munculnya gerakan
pemuda dalam wadah organisasi, pemerintah Hindia Belanda tidak memberikan
kesempatan yang baik dan memberikan tempat yang wajar kepada kaum nasionalis. Oleh
karena itu, tidak dapat disalahkan kalau
pemuda pada umumnya dan kaum nasionalis khususnya mengubah arah politiknya
lebih mendekat kepada penguasa Jepang. Ketiga, penguasa Jepang yang semula
menyatakan sebagai ”saudara tua” ternyata berubah menjadi saudara yang kejam
dan ganas. Akibatnya kaum muda bergerak, bekerjasama untuk melepaskan diri dari
belenggu pemerintah Jepang
2.
Metode Penelitian
Kajian ini menggunakan metode penelitian sejarah
untuk memahami dinamika gerakan pemuda pada
masa pendudukan Jepang di Indonesia. Sumber-sumber yang digunakan di
dalam penelitian ini adalah buku-buku yang secara khusus mengungkap tentang
pergerakan pemuda pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Langkah selanjutnya adalah menyeleksi sumber-sumber
yang dikumpulkan itu kemudian diuji secara kritis untuk memperoleh
sumber-sumber sejarah yang otentik dan kredibel sehingga pada akhirnya akan
diperoleh fakta sejarah. Fakta sejarah
itu dianalisis ke dalam suatu uraian yang sistematis dan diletakkan dalam
konteks sejarah.
3.
Pembahasan Hasil Penelitian
3.1. Gerakan Kemiliteran
Sejak awal pemerintahannya, penguasa Jepang di
Indonesia sudah merencanakan untuk mengarahkan pemuda dan pelajar ke dalam
gerakan semi-militer. Pada triwulan pertama 1943 Jepang mendirikan organisasi
pemuda pertama di Jawa yang diberi nama Seinendan[1].
Organisasi ini dipimpin langsung oleh Syaiko
Sykikan, panglima Angkatan Darat Jepang di Jawa yang bermarkas di Jakarta.
Seinendan sebagai organisasi yang bertujuan untuk membina para kawula muda Jawa
yang memiliki kesadaran akan munculnya kemenangan dalam perang Asia Timur Raya.
Ini berarti, bahwa tujuan utama Jepang mendirikan Seinendan adalah untuk menyelamatkan pasukan Jepang yang mulai
terjepit di berbagai front Asia Pasifik. Untuk itu keberadaan Seinendan
langsung dipegang oleh Gunseikan atau
pimpinan pemerintahan militer (Jakarta),
dan secara struktural diteruskan
di darah administratif di bawahnya seperti Syu
(karesidenan), Koci (daerah istimewa
seperti Yogyakarta), Ken (kabupaten),
dan Gun (kawedanan).
Pemuda
yang diperkenankan masuk dalam Seinendan adalah para remaja putra yang telah
berumur 14-25 tahun. Mereka kemudian diperkenalkan dengan budaya Jepang
terutama sekali diharuskan mengikuti latihan-latihan kemiliteran dengan
senapan-senapan tiruan dan bambu runcing. Para pemuda lebih diperkenalkan pada
cara-cara dan situasi yang keras. Hal ini dimaksudkan untuk membiasakan
kedisiplinan, sehingga secara perlahan semangat perang Asia Timur Raya mulai di
suntikkan kepada kawula muda Indonesia.
Organisasi
pemuda semi-militer yang kedua adalah Keibondan,
suatu organisasi pemuda (20-35 tahun) yang lingkup kegiatannya membantu
tugas-tugas kepolisan berupa penjagaan lalulintas, pengamanan desa dan
tugas-tugas di bidang keamanan dan ketertiban umum lainnya. Latihan yang
diberikan kepada Keibondan meliputi
penjagaan dan penyelidikan terhadap berbagai berita dalam kehidupan sosial,
penjagaan kawasan dirgantara, penjagaan wilayah pantai, penjagaan dan bantuan
bencana alam, serta penjagaan dan keamanan kampung (Sihombing, 1962: 1933-1934). Organisasi ini ada di bawah
binaan Keimubu (Departemen
Kepolisian). Pengawasan terhadap keberadaan Keibondan dilakukan secara
hierarkhis sampai ke tingkat bawah oleh kepala polisi daerah (Suhartono, 2001:
130).
Dengan meningkatnya suasana ancaman
perang antara pasukan Jepang dengan Sekutu menyebabkan gerakan Keibondan
mulai disalahgunakan untuk berbagai kepentingan. Tidak jarang dimanfaatkan
sebagai mata-mata yang mengintip setiap gejala dan fenomena sosial politik yang
dianggap menentang kekuasaan pendudukan Jepang. Akibatnya seringkali terjadi
salah tangkap, hanya karena yang bersangkutan dicurigai mata-mata musuh. Selain
itu, Keibondan juga dapat
dipergunakan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab untuk menghancurkan lawan kepentingan dengan cara membuat
tuduhan yang sama. Dengan demikian Keibondan
selain ikut memperkuat kewaspadaan dan disiplin masyarakat, juga dapat
terperangkap ke dalam politik pecah belah. Menjelang akhir 1943 tidak banyak
perbedaan antara Seinendan dengan Keibondan, sebab keduanya juga
mendapatkan latihan dasar-dasar kemiliteran, sehingga kedua gerakan barisan
pemuda ini dapat dipergunakan untuk tujuan pertahanan. Sekali pun demikian
gerakan Keibondan yang cukup
spektakuler adalah bahwa organisasi ini
dikondisikan jauh dari pengaruh kaum nasionalis. Sebaliknya Seinendan justru di dalamnya diperkuat
oleh nasioanlis muda seperti Sukarni.
Terdesaknya
posisi pertahanan pasukan Jepang oleh Sekutu menyebabkan pemerintah Jepang pada
bulan April 1943 memberikan kesempatan kepada pemuda Indonesia untuk menjadi
pembantu angkatan perang Jepang (Heiho).
Berbeda dengan Seinendan dan Keibondan, kelahiran Heiho dimaksudkan untuk kalangan pemuda
yang dipersiapkan sebagai barisan kesatuan-kesatuan angkatan perang, sehingga
keberadaan Heiho dimasukkan sebagai
bagian dari ketentaraan Jepang. Oleh karena itu, Heiho sering dibawa sebagai tenaga pekerja yang melayani kegiatan
angkatan perang seperti memindahkan senjata dan peluru dari gudang ke atas
truk. Heiho ternyata bukan hanya ada
dalam jajaran angkatan darat Jepang, tetapi juga pada angkatan laut. Pada waktu
itu, kawasan Indonesia dikuasai oleh tiga tentara, yakni tentara ke-16 untuk
pulau Jawa, tentara ke-25 untuk Sumatra, dan daerah armada untuk Indonesia
bagian Timur, maka Heiho juga ada
pada ketiga satuan ini.
Di
beberapa wilayah satuan angkatan perang Jepang ternyata sangat bervariasi
persyaratan perekrutan anggota Heiho.
Di Sumatra yang dapat diterima sebagai Heiho adalah para pemuda yang sudah
tamat sekolah rendah dan berumur 18-30 tahun. Sementara itu, pada kesatuan
tentara ke-16 di Jawa yang diterima adalah para pemuda berpendidikan sekolah
menengah yang telah berumur 16-25 tahun.
Kebutuhan
pemerintah pendudukan Jepang di bidang militer terutama untuk melatih tingkat
perwira di kalangan bangsa Indonesia diwujudkan dengan mendirikan Tentara
Pembela Tanah Air (Peta). Dalam pengumuman mengenai pembentukan Peta dinyatakan
bahwa seluruh anggotanya terdiri dari bangsa Indonesia sendiri. Pasukan-pasukan
Peta dibentuk di setiap Syu (karesidenan) yang bertugas untuk mengamankan dan
mempertahankan daerah masing-masing. Penyebarluasan berita tentang pembnetukan
Peta dan syarat-syarat untuk dapat menjadi anggota Peta ternyata mendapat
perhatian besar dari masyarakat, khususnya di Jawa. Hal ini disebabkan oleh
persyaratan anggota Peta tidak terlalu mementingkan tingkat pendidikan seperti
pada Heiho, tetapi lebih mengutamakan manajemen kepemimpinan. Mengenai
persyaratan umur hanya diebutkan untuk calon komandan peleton berusia di bawah
30 tahun, sedangkan untuk calon komandan regu dan prajurit harus di bawah 25
tahun (Anderson, 1972 : 14). Sekali pun demikian mereka yang diterima menjadi
komandan batalyon ternyata terdiri dari para tokoh seperti guru dan kyai yang
telah mempunyai pengaruh kuat atau sebagai ”agent
of change” dalam masyarakat. Para calon perwira di Peta dibagi dalam tiga
kelompok, yaitu Daidanco (calon
komandan batalyon), Gudanco (calon
komandan kompi), dan Syudanco (calon
komandan peleton). Para calon perwira sudah menjalani latihan militer di Bogor
sejak mulai akhir 1943 hingga pertengahan 1944.
Peta
mempunyai kuajiban menyiapkan dan menghimpun tenaga kawula muda apabila Sekutu
mendarat di Indonesia. Oleh karena itu, semuanya dilakukan serba cepat sebab
situasi perang memang sudah begitu mengkhawatirkan Jepang. Bagi Jepang sendiri
tidak begitu penting, apakah para perwira-perwira baru itu sudah terampil atau
belum di bidang kemiliteran, sebab keberadaan mereka tetap di bawah derajat
tentara Jepang sendiri (Sihombing, 1962 : 168). Perlakuan-perlakuan tentara
Jepang terhadap para perwira putra Indonesia seringkali menyebabkan tekanan
psikologis. Bahkan berawal dari masalah-masalah psikologis di kalangan periwa
Peta seperti inilah yang menjadi salah satu sebab meletusnya pemberontakan Peta
di Blitar pada tanggal 14 Pebruari 1945. Pemberontakan Peta Blitar ini segera
dapat dipadamkan oleh tentara Jepara dan tokoh pemberontakan sebagian dihukum
mati atau dihukum penjara. Apapun akibat-akibat dari suatu gerakan, ternyata
pemberontakan Peta di Blitar merupakan manifestasi perasaan dan kebersamaan
pemuda Indonesiayang selalu ingin melepaskan diri dari kekejaman dan belenggu
pasukan Jepang. Pada waktu Jepang menyerah kalah kepada Sekutu tahun 1945, para
perwira tersebut keluar dari tentara Peta. Atas dasar pertimbangan rasional
seperti ini tidaklah terlalu berlebihan jika ada pendapat yang menyatakan bahwa
tentara Peta bukanlah pemuda Tentara Nasional Indonesia (TNI), sekalipun tidak jarang anggota tentara Peta yang menjadi
tokoh utama TNI di kemudian hari.
3.2.
Gerakan Sosial Politik
Kekalahan pasukan Jepang di berbagai medan tempur
menyebabkan semakin menipisnya kepercayaan bangsa Indonesia terhadap kemampuan
pemerintah Jepang. Untuk itu Jepang bertekad memulihkan kepercayaan di kalangan
bangsa Indonesia terhadap kemampuan pasukan Jepang. Jepang mulai mengadakan
pendekatan dengan para tokoh nasionalis Indonesia. Pemerintah Jepang mulai
mengubah kebijakan politiknya, yaitu merangkul barisan nasionalis-nasionalis
muda Indonesia untuk memperoleh kemenangan di medan tempur perang Asia Timur
Raya dengan membentuk sebuah organisasi pemuda yang diberi nama Pusat Tenaga
Rakyat (Putera) yang dipelopori oleh ”empat serangkai” terdiri dari Sukarno, Moh.
Hatta, Ki Hadjar Dewantoro, dan Haji Mas Mansyur. Pada awalnya Putera digunakan
sebagai alat penggerak pemuda Indonesia dengan maksud untuk membujuk kalangan
muda supaya memiliki kepedulian terhadap
pemerintah Jepang. Sementara itu, kehadiran Sukarno dan Moh. Hatta dalam wadah
Putera ternyata ambivalen. Di satu sisi mereka bekerja untuk kepentingan
Jepang, tetapi di sisi lainnya mereka harus merealisasikan cita-cita
nasionalisnya yakni mengembangkan nasionalisme Indonesia kke arah kemerdekaan
bangsanya. Untuk itu kekuatan nasional harus tetap perkuat dan dikumandangkan
dengan memanfaatkan kekuatan-kekuatan nasionalis dari gerakan atau organisasi
illegal/bawah tanah. Keberadaan organisasi bawah tanah tidak dadpat dipisahkan
dengan adannya asrama-asrama pemuda sebagai pusat pergerakan mereka.
Asrama
dapat dipandang sebagai tempat persemaian yang efektif bagi pemuda untuk
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Mereka membentuk gerakan pemuda dalam
bentuk kelompok-kelompok seperti kelompok asrama Mahasiswa Prapatan 10,
kelompok asrama Maahasiswa Angkatan Baru Indonesia, kelompok Sjahrir, kelompok
asrama Mahasiswa Indonesia. Di luar kelompok-kelompok asrama itu juga terdapat
organisasi-organisasi pemuda/mahasiswa non-asrama seperti yang dipimpin oleh
Amir Syarifuddin[2].
Kelompok
pemuda/mahasiswa di Jakarta yang aktif melakukan gerakan dipusatkan di dua
asrama, yaitu asrama mahasiswa Ika Daigaku (di jalan Prapatan 10) dan kelompok
di jl. Cikini Raya yang pada waktu mereka bergabung dalam Badan Permusyawaratan
Pelajar-Pelajar Indonesia (BAPERPI). Sebagai mahasiswa mereka belum mempunyai
politik jangka panjang, sebab pertumbuhan dan dinamika gerakan mereka lebih
banyak diwarnai oleh idealime pemuda. Sikap dan perilaku inilah yang kemudian melahirkan mereka sering
berbenturan dengan pemerintah Jepang.
Ketia
tokoh pemuda/mahasiswa yang menonjol pada waktu itu adalah Sukarno, Moh. Hatta,
dan Syahrir yang secara strategis mereka memili target pergerakan yang sama
yakni mencapai kemerdekaan Indonesia. Hanya secara terpisah mereka mampu
memanfaatkan bantuan dan fasilitas pemerintah Jepang sesuai dengan kondisi
masing-masing. Ketika sedang memuncaknya pembentukan organisasi militer dan
semi-militer oleh Jepang (Keibondan,
Seinendan, Heiho, dan Peta),
diantara mereka berhasil medirikan sel-sel/cabang-cabang organisasi
pemuda/mahasiswa di wilayah Jawa seperti Surabaya, Cepu, cirebon, Garut, dan
Semarang. Salah satu kegiatan cabang-cabang ini adalah mendengarkan radio
Sekutu secara diam-diam, kemudian menyebarkan beritanya keseluruh cabang
pergerakan pemuda. Stasiun radio yang menjadi sumber berita adalah radio
Australia
dan BBC London. Melalui berita radio itulah para pemuda dapat memantau dan
mengetahui setiap kekalahan dan kemajuan yang dialami tentara Jepang di
berbagai front. Dari sumber berita itulah gerakan pemuda mampu memprediksi
keadaan dan mengalsis kemungkinan kebijakan yang akan diputuskan oleh
pemerintah Jepang di Indonesia
3.3.
Gerakan Rengasdengklok
Tanggal 14
Agustus 1945, ketika Sukarno, Moh. Hatta, dan Radjiman dalam perjalanan dari
Jakarta-Singapura-Dalat dan kembali lagi ke Jakarta, sebagian pemuda khususnya
mereka yang bergerak di bawah tanah sudah mengetahui bahwa Jepang sudah
menyerah pada Sekutu menyusul pemboman di Hiroshima dan Nagasaki. Berita
menyerahnya Jepang kepada Sekutu selain diperoelh dari radio Sekutu, juga dari Hoso Kanri Kyoku (radio Jepang di
Jakarta). Berita itu segera
disebarkan ke berbagai jaringan gerakan pemuda illegal.
Moh
Hatta terkejut atas berita menyerahnya Jepang yang disampaikan oleh Syahrir. Ia
menyetujui bahwa proklamasi kemerdekaan dikumandangkan secepatnya, tetapi
sekali gus meragukan apakah Sukarno dapat melakukannya mengingat pada waktu
kedudukannya sebagai ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Mereka sepakat menemui Sukarno, tetapi
sebaliknya Sukarno sendiri masih meragukan berita menyerahnya Jepang kepada
Sekutu.
Keesokan
harinya, 15 Agustus dua pemuda yakni Darwis dan Wikana menyampaikan hasil rapat
pemuda kepada Sukarno. Rapat yang telah dipimpin oleh Chaerul Saleh memutuskan
bahwa memproklamasikan kemerdekaan oleh bangsa Indonesia sendiri, mengajak
Sukarno dan Hatta berunding untuk
memproklamirkan kemerdekaan, menyiapkan para pemuda, pelajar dan mahasiswa
untuk menghadapi situasi baru. Kemerdekaan harus segera diumumkan dan
dilaksanakan oleh bangsa Indonesia, dan yang tepat mengumandangkan adalah
Sukarno dan Hatta. Mengingat situasi politik dan keamanan yang tidak kondusif,
maka para pemuda memutuskan untuk membawa Sukarno dan Hatta ke luar kota,
Rengasdengklok, sebuah kota kecamatan di kabupaten Karawang, Jawa Barat. Sekali
pun sudah diamankan ke luar kota Jakarta, Sukarno dan Hatta masih tetap dengan
pendiriannya yakni belum percaya terhadap berita dari pihak pemuda, bahkan
berita resmi dari Jepang sendiri ditak ada.
Keesokan
harinya tanggal 16 Agustus seorang pemuda tokoh pergerakan nasional Ahmad
Subardjo Djojoadisurjo menuju Rengasdengklok untuk meyakinkan Sukarno-Hatta
tentang menguatnya gerakan pemuda untuk memprokalamasikan kemerdekaan yang dipercayakan
kepada Sukarno-Hatta. Oleh sebab itu, Sukarno-Hatta dibawa ke Jakarta. Pada
pagi harinya tanggal 17 Agustus 1945 Sukarno dan Hatta membacakan teks
proklamasi kemerdekaan Indonesia, sebagai tanda gerakan pemuda sudah di depan
pintu gerbang kemerdekaan
4.
Penutup
Untuk mengambil hati rakyat Indonesia, pada wal
kekuasaannya pemerintah Jepang bersikap lunak dan memperkuat kerjasama dengan
Indonesia, tetapi akhirnya berlawanan dengan kenyataan dan janji-janji masis
itu dilupakan begitu saja. Penderitaan dan tekanan dari pemerintah Jepang dirasakan
terlalu berat dan diharapkan penderitaan segera berakhir.
Ramalan
Jayabaya mengatakan bahwa kekejaman dan penderitaan bangsa Indonesia hanya ”seumur jagung” ternyata cukup populer
sebagai penangkal penderitaan dan menyongsong datangnya zaman baru yang ”gemah ripah loh jinawi”. Makna di balik
ramalan inilah yang semakin memperkuat kerjasama di kalangan pemuda. Bahkan
puncak perjuangan menuju kemerdekaan merupakan hasil kerjasama antara kelompok
tua dengan kelompok muda. Perhitungan politik yang tajam yang dikombinasikan
dengan prosedur gerakan pemuda yang
dikembangkan dengan nilai kebersamaan, pada akhirnya perjuangan pemuda mampu
menghantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan.
5.
Daftar Pustaka
Anderson, Benedict R.O.G.
1972. Java in Time of Revolution :
Occupation and Resistence 1944-1946. Ithaca
: Cornell University Press.
Hardjito. 1952. Risalah Gerakan Pemuda. Jakarta : Pustaka Antara
Sihombing, ODP. 1962. Pemuda Indonesia Menentang Fasisme Jepang.
Jakarta : Sinar
Djaya.
Suhartono. 2001. Sejarah
Pergerakan Nasional. Dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Oleh: Sugiyarto
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Undip
[1] Seinendan adalah suatu organisasi
penggemblengan pemuda di Jawa yang mirip seperti Seinendan yang ada di
Jepang. Di Jepang, gerakan Seinendan
merupakan sumber tenaga yang dapat diharapkan oleh pihak militer untuk membantu
dalam aktivitas kemiliteran. Dalam organisasi ini para pemuda dan pemudi di
Jepang dipupuk menjadi angkatan muda yang fanatik dan berpendirian ekstrem dengan
cara menjalani latihan-latihan kemiliteran dan indoktrinasi yang efektif.
[2] Amir Syarifuddin adalah mantan ketua
Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo berdiri di Jakarta 24 Mei 1937), sebuah
organisasi sosial politik di masa pergerakan nasional (Hindia Belanda) yang
dianggap berorientasi ke kiri. Menjelang Jepang berkuasa di Indonesia tahun
1942, Amir Syarifuddin disebut-sebut berhubungan erat dengan PJA Idenburg,
pimpinan Departemen Pendidikan Hindia Belanda, yang memberikan bantuan uang
kepada Amir Syarifuddin untuk mengorganisir gerakan/organisasi illegal/bawah
tanah melawan Jepang.